Nyantri untuk Mengabdi


Hanya ada empat nama saja yang lolos dalam seleksi. Dengan langkah tergesa-gesa para santri serentak mendekati papan pengumuman di depan kantor Dewan Santri. Tak banyak orang menyangka bahwa Ali, seorang santri yang namanya kurang begitu dikenal di pesantren ini ternyata bisa lolos dalam seleksi peserta Karya Nyata Santri. Begitu juga Anshor, santri dengan julukan Abu Naum ini juga lulus.  Dua nama lagi adalah Randi dan Ragab, pak kiayi telah mengenal mereka berdua cukup baik.
 “Santri tak selamanya nyantri. Setelah terjun ke masyarakat, semua santri pasti dianggap sama, sama-sama pintar ngaji, dan juga ahli dalam keilmuan agama. Anda sekalian tinggal memilih, apakah mau bertanggung jawab dengan jabatan santri yang anda punya atau tidak. Manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ilmu kalian harus ada manfaatnya. Niatkan semua ini untuk melakukan pengabdian kepada agama, negara, dan bangsa, juga semata-mata ikhlas mengharap ridho Allah. Sampaikan kabar gembira tentang Islam. Jaga nama baik almamater pesantren.” begitulah kiranya pesan dari pak kiayi. Ali, Anshor, Randi, dan Ragab duduk tertunduk di hadapan beliau, Sebelum beranjak, mereka silih bergantian mencium tangan pak kiayi, lalu berpamitan untuk pergi esok hari.
Tepat tengah malam, lampu kobong Randi dan Ragab masih menyala. Sepulang mengaji mereka masih sibuk mengemas barang.
“KNS itu sama kaya KKN-nya mahasiswa ya?”
“Kata temanku yang kuliah ga jauh beda, sama-sama mengabdi kepada masyarakat.” Jawab Ragab, ia masih sibuk mengemas pakaian.
“Bedanya?” tanya Randi sambil berbaring mendekapkan dengan erat kedua tangannya memegang sarung di dada sebagai penghangat tubuh.
“Mahasiswa dan santri sama-sama membawa misi mencerdaskan bangsa. Mereka punya Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita juga punya Tri Dharma Pesantren.”
“Wuih, dapet dari kitab mana tuh “Tri Dharma Pesantren”?”
“Pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, tujuannya sama saja sih sebenarnya. Cuman kita para santri lebih menitikberatkan pada pembinaan ahklak masyarakat. Kita mengemban amanah dari para guru dan ulama untuk mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari di pesantren.” Barang bawaan Ragab telah selesai dikemas lalu ia merapikan isi lemari.
 “Kita besok berangkat jam berapa Ran? Kita belum pamitan sama anak seasrama kan? Terus hutang makan di warteg emak jangan lupa kau bayar dulu.” 
Randi diam saja.
“Ran?”
“Randi?”
“Enghh...”
Ragab menoleh ke belakang dan mendapati Randi telah memejamkan kedua matanya.
“Wah paraah! Jadi dari tadi aku nyerocos sendiri.” Kata Ragab ketus sambil melempari Randi dengan bantal.
***
Minggu pagi, rombongan bertolak menuju suatu daerah di pelosok Kabupaten Sumedang. Letaknya tidak terlalu jauh dari pinggiran Bandung. Sesampainya di sana, desa tempat mereka tinggal ternyata benar-benar terpencil! Jalan berbatu, jauh dari hingar-bingar perkotaan, tak ada transportasi, kecuali ojeg sepeda motor, itu pun hanya beberapa.
Pak Endang putra pertama pak kiayi lah yang akan membimbing kegiatan KNS ini selama beberapa hari. Langkahnya terhenti sejenak, sekedar melepas lelah setelah melewati jalam setapak dari jalan desa yang berbatu. Ia menghela nafas panjang, lalu melanjutkan kembali perjalanan.
“Rumah panggung semi permanen ini akan menjadi posko tempat tinggal sementara bagi kalian selama satu bulan ke depan. Pemiliknya sudah lama pindah ke kota. Mohon maaf bapak hanya bisa memberikan fasilitas seadanya. Insyaallah kalian pasti betah tinggal di sini.” Ucap beliau ketika sampai di halaman rumah.
Dari luar rumah tampak beberapa lubang pada dinding bilik bambu yang dibiarkan menganga. Sarang laba-laba yang menggantung di sana-sini semakin menambah kesan tua dan kumuh.
“Randi, lu yakin ga bakalan takut tidur di rumah kaya gini?” ucap Anshor merendahkan.
“Takut apaan? Emangnya ente yang suka minta anter ke WC jam dua malem?” Randi tertawa puas.
“Kan ada Ali, penunggu WC belakang asrama aja takluk sama dia.” Sambung Ragab sambil menepuk punggung Ali.
Ali mendekap pundak Randi dan Ragab dengan kedua tangannya, sambil tersenyum ia berkata “Selama niat kita baik, insyaallah semuanya akan berjalan dengan lancar. Percayalah, akan ada banyak kebaikan yang kita temukan di tempat tugas kita ini.”
Setelah selesai dibersihkan, posko terasa lebih nyaman. Di dalamnya ada satu kamar tidur, ruangan tengah, dan dapur lengkap dengan tungku dan peralatan masak yang dibawa dari pesantren. Jika ingin buang air, tersedia jamban dekat kali kecil yang selalu terbuka lebar.
Bagi para santri, fasilitas ini sudah cukup mewah, jika dibandingkan kamar asrama yang sempit dan pengap. Tujuan mereka ke sini bukan hanya sekedar mengemban tugas dari pesantren. Misi dakwah ke penjuru tanah air menjadi misi utama. Di mana bumi dipijak, di sana lah langit dijungjung. Di mana pun mereka berada, seorang santri harus bisa mengembangkan kehidupan masyarakatnya.
***
Lantunan sholawat yang mendayu-dayu mengantarkan matahari terbenam di ufuk barat. Semakin sore selasar mesjid kian penuh oleh anak-anak. Bercengkrama sekaligus mengajarkan pelajaran agama kepada mereka ternyata susah-susah gampang. Perlu hati yang lembut dan sabar, Ali lah yang ahli dalam hal ini. Kelembutannya membuat ia banyak disukai anak-anak.
Selepas salat maghrib, pengajian dilanjutkan oleh para pemuda dan bapak-bapak. Di sela kesibukan mereka masih ada semangat untuk  belajar agama. Ilmu tajwid, kajian fiqih dan tauhid adalah menu wajib yang selalu digilir setiap malamnya. Ali membuka pengajian dengan agak sedikit gemetar. Sudah beberapa kali ia merapikan pecinya, namun tetap saja miring. Walaupun demikian, kata-katanya selalu berbobot dan mudah untuk dipahami kalangan awam seperti pemuda di kampung ini yang belum begitu mengerti agama.
Alhamdulillah, mesjid ini telah mendapatkan nyawanya kembali. Suara Adzan selalu menggema di setiap awal masuk waktu solat. Salat berjama’ah pun semakin hangat dengan ma’mum yang kian bertambah. Begitupun anak-anak, semakin banyak generasi bangsa yang termotivasi untuk menuntut ilmu agama.
Dua minggu yang lalu, keadaan mesjid ini membuat siapapun terenyuh. Rumput liar tumbuh subur di halaman mesjid. Berbulan-bulan tak berpenghuni. Jangankan harap ada salat berjamaah, apalagi pengajian majelis taklim, adzan pun berhenti berkumandang di sini. Andai saja ada seorang lulusan pesantren di sini, sudah pasti cerita mesjid tak berpenghuni ini tak akan menjadi kenyataan. Kedatangan para santri ke kampung ini membawa nyawa baru untuk menghidupkan rumah Allah yang sudah lama mati.
Semuanya berawal dari imam masjid yang lebih memilih menjadi buruh pabrik dari pada mengabdikan diri pada agama Allah. Cerita ini didapat ketika Ali, Anshor, dan Ragab bersilaturahmi ke rumah pak Oyo, orang yang dituakan di kampung ini. Berkat usaha dan kerja kerasnya lah, dapat berdiri mesjid di kampung ini.
Hari rabu dan jumat sore, rumah pak Oyo berubah menjadi majelis ta’lim ibu-ibu. Sebagian besar adalah kaum ibu yang sudah paruh baya, sisanya ibu-ibu muda dan gadis belia. Ali tertegun, di hadapannya seorang nenek sedang membaca lima ayat pertama surat Al-Baqarah. Ia membacanya dengan terbata-bata. Tajwidnya masih banyak keliru, dan huruf-huruf yang masih tertukar. Namun Ali hanya diam saja.
“Sssht...! Ali, benerin Al...!” bisik Anshor.
Anshor melirik wajah Ali yang tertunduk. Matanya nampak berkaca-kaca.
“Kamu lanjutin ya, saya ke belakang dulu.”
Ali terenyuh dengan bacaan nenek tadi, tak segan membenarkan bacaan Qurannya yang masih jauh dari fasih. Di tempat kelahirannya, anak usia sepuluh tahun saja sudah fasih membaca Quran. Sebelumnya juga ada seorang ibu yang masih belum begitu mengenal huruf hijaiyah, usianya mungkin baru kepala tiga. Lalu bagaimana perannya sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya? Jika mengajarkan Alquran saja belum bisa. Rasanya waktu satu bulan sangatlah kurang untuk membenahi masalah ini.
Sebelum kembali ke posko, mak Inah, istri pak Oyo menahan Ali dan Anshor untuk mencicipi masakannya.
“Kalian akan tinggal berapa lama lagi di sini?” mak memulai pembicaraan setelah Ali dan Anshor selesai makan.
Mereka berdua diam sejenak.
“Mungkin minggu depan mak.” Kata Ali. Wajah emak murung seketika.
“Kok secepat itu?” tanya ema dengan memelas.
Randi menghela nafas panjang. “Emak jangan sedih, kita pasti ke sini lagi.”
***
Malam itu suasana posko berbeda dari biasanya. Ruangan tengah yang hanya seukuran kamar itu penuh sesak oleh anak-anak yang ingin melewati malam minggu dengan menginap di posko. Semuanya anak laki-laki, anak perempuan tidak mungkin diijinkan oleh orang tua mereka. Walaupun di luar hujan deras, kehangatan canda tawa mereka mampu menghalau udara dingin yang menerobos lubang-lubang kecil bilik bambu.  Anshor yang sejak isya tadi bersembunyi tidur di kamar beberapa kali terbangun. Setiap malam santri yang pinter jago ilmu alat ini selalu tidur paling awal dan baru bangun setelah Ali, Ragab, dan Randi terbangun.
Hujan sudah mulai reda, dan malam pun semakin larut. Mata mereka sudah mulai sayu tak kuasa menahan kantuk. Orang tua mereka pasti sudah memaksa untuk tidur jika selarut ini masih terjaga. Ragab duduk dikelilingi anak-anak yang tetap antusias mendengarkan ceritanya seputar pengalaman tinggal di pesantren.
“Siapa yang ingin masuk pesantren?”
Semuanya mengacungkan tangan dan berteriak “Aku...aku...aku!”. suasana posko kembali riuh. Randi yang baru saja terpejam bangun kembali.
“Kenapa mau jadi santri?”
“Karena ingin jadi ustad.” Kata salah seorang anak dengan polosnya.
“Aamiin.”
Kisah menyenangkan tinggal di pesantren semoga saja akan membuat anak-anak mempunyai cita-cita menjadi santri. Santri akan menjadi benteng dari ganasnya perkembangan jaman yang sudah tidak karuan. Moral penerus bangsa secara perlahan mulai hancur karena makin pesatnya kemajuan teknologi yang kebablasan.
Ali bangkit dari tempat tidur yang beralas tikar. Ia ingin memastikan semua anak telah tertidur. Dengan perlahan, Ali menarik selimut yang tersingkap, supaya mereka tidak kedinginan.
“Belum tidur Li?” tanya Randi yang juga terbangun.
“Bentar lagi mau jam empat, udah waktunya bangun.”
Randi memandang anak-anak yang masih tertidur pulas. Ia sudah menganggap mereka seperti adik sendiri.
“Mereka pasti sangat kehilangan kalau kita pulang, apalagi bocah ini nih.” Sambil mengusap-ngusap pundak Cucu yang masih terlelap, ia adalah adik kesayangan Randi.
“Kita pulang dua atau tiga hari lagi.”
“Hah, beneran? Secepat itu?” ucap Randi seolah tak percaya.
Randi dan Ali tak menyadari bahwa beberapa anak sudah terbangun dan mendengar percakapan mereka berdua.
“Mang mau pulang? Terus yang ngajar kita siapa?” tanya Yusuf, dengan memelas. Mata agak sedikit berkaca-kaca.
“Eh, Yusuf udah bangun? Masih lama kok pulangnya.” kata Randi terbata-bata.
Ali merendahkan tubuhnya memeluk tubuh mungil Yusuf dengan erat. Tangis Yusuf terdengar jelas di telinga Ali.
“Astaghfirullah! Di mesjid belum ada yang adzan!” dengan seketika Randi melesat keluar dan menghilang di antara kegelapan.
***
Langit mendung. Awanpun ikut bersedih. Air matanya turun membasahi bumi. Beberapa warga dan anak-anak berkumpul di halaman posko. Berbagai jenis hasil panen mereka bawa sebagai oleh-oleh. Mereka tak mau kehilangan momen-momen terakhir bersama para santri.
Pak kiayi turut hadir dalam acara perpisahan tersbut. Semua warga berbondong-bondong menyalaminya. “Hatur nuhun pisaan pak...” pak Oyo tak sanggup berkata lebih banyak. Tangisnya pun pecah ketika memberikan pelukan perpisahan dengan pak kiayi.
Seketika tangis pun pecah saat para santri mulai berjalan meninggalkan posko. Warga dan anak-anak mengikuti dari belakang, sambil membantu mengangkut barang bawaan ke tepi jalan. Saat itu juga mobil minibus mendekat ke arah gang sempit.
Isak tangis tak bisa lagi mereka bendung, pelukan hangat menjadi tanda perpisahan dengan anak-anak didikan para santri. Mereka hanya bisa memandang dengan mata berkaca-kaca. Momen ini akan menjadi memori yang tak akan pernah terlupakan.
Tangis mereka kian keras ketika mobil perlahan mulai melaju.
“Maang jangan pulaang!”
“Maang jangan pulaang...!” hanya teriakan itu yang terucap dalam mulut anak-anak.

Dari jendela mobil mereka melambaikan tangan dengan mata yang tak henti mengeluarkan air mata. Beberapa anak bahkan sampai berlari mengejar mobil yang mulai melaju kencang. Hingga akhirnya mereka menghilang dari pandangan mata. Ali, Anshor, Ragab, dan Randi hanya bisa tertunduk. Mereka seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Komentar